Pulished on 26 November 2007 • Written by redaktur
Pada saat ini jarang sekali orang yang mengetahui dan menyenangi sastra. Mereka lebih berorientasi pada ilmu eksak, teknologi, dan lainnya yang menurut mereka jauh lebih menantang daripada hanya sekedar membicarakan tentang sastra. Pandangan seperti ini tentu membawa imbas pada minat siswa-siswa SMU untuk memasuki Fakultas Sastra. Dan andaikata banyak yang meminati, maka hanya pada sastra Inggris yang selama ini punya nilai lebih tersendiri, misalnya berkaitan dengan masalah peluang kerja. Lalu bagaimana dengan sastra Indonesia?.
Peluang pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia masih tetap ada walaupun lambat. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap sastra Indonesia. Pada umumnya mereka masih belum menyadari manfaat keberadaan sastra Indonesia. Dengan mempelajari sastra Indonesia, kita akan menjadi lebih sensitif dengan fenomena sosial, lebih bisa memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang, tidak dengan menghakimi suatu kejadian dengan pandangan yang sempit. Selain hal-hal tersebut, kita akan mengetahui refleksi kehidupan bangsa kita dari awal hingga akhir sehingga kita akan bisa menjadi manusia yang bisa menghargai hidup, sesama, serta negara.
Seperti yang terjadi sekarang ini, saat kerusuhan terjadi di mana-mana, setiap orang mulai merasa kehilangan rasa kemanusiaan dan persaudaraan yang menyebabkan terbentuknya kehidupan individualis dan egois, serta kesibukan dengan rutinitas sehari-hari tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Setiap individu menjadi saling curiga, tidak ada kepercayaan terhadap individu lain. Menurut Taufik Ismail, keadaan seperti ini terjadi karena memang sejak dahulu pelajaran yang selalu dipentingkan adalah eksakta dan teknologi guna mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain. Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu kita baru merdeka.
Belajar tentang ilmu sosial menjadikan sastra dinomorduakan sehingga ketika badai krisis menghantam kita, kita langsung terpuruk walau kita pernah “berjaya” dengan teknologi tersebut. Hal ini karena mentalitas orang-orang yang bekerja di baliknya jelek. Rasa kemanusiaan dan kesadaran setiap individu akan hal-hal selain memburu kejayaan, uang, ketenaran sangatlah kurang karena mereka tidak mempunyai bekal kepekaan yang cukup. Dan sekali lagi ini karena sastra tidak dipandang sebagai hal yang penting dan selalu dinomorduakan.
Untuk mencegah agar hal ini tidak semakin berlarut maka berikut ini akan dituliskan beberapa tokoh kesusastraan agar kita lebih mengenal mereka. Itu semua pada akhirnya akan membuat kita mulai menyukai sastra, meneladani sikap serta menjadikan pengalaman hidup mereka sebagai suatu pelajaran yang berharga dan dapat merubah pandangan serta sikap hidup kita. Tokoh pertama yang akan diangkat adalah Chairil Anwar. Nama ini tentunya sudah sangat akrab di telinga kita namun jarang sekali kita mengetahui siapa dan bagaimana Chairil Anwar. Semoga dengan tulisan ini akan membuat kita lebih mengenalnya seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang.”
BIOGRAFI Chairil Anwar (Masa Kecil) Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922. Ia menempuh pendidikan hingga kelas dua pada sekolah MULO (sekarang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Tahun 1940 dia pindah ke Jakarta dikarenakan keadaan keluarga. Tetapi di sana sekolahnya amat terbatas atau mungkin dia tidak melanjutkan sekolahnya.
Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Chairil Anwar sendiri berasal dari keluarga yang kurang harmonis. Hari-hari yang dipenuhi dengan pertengkaran terus-menerus, tidak mengenal damai sekejap pun. Kedua orang tuanya sama-sama pemarah, keras hati, dan tidak mau mengalah. Di tengah-tengah api percideraan dan pertengkaran itulah Chairil hidup dan dibesarkan. Dapatlah kita rasakan bagaimana pengaruh suasana kehidupan demikian terhadap jiwanya.
Di lain hal ternyata dia sangat dimanjakan. Segala-galanya harus diadakan untuk Chairil seperti motor anak, sepeda anak, atau apapun permainan, kegemaran anak-anak yang terbaik. Demikian halnya dengan masalah makanan, adalah hal yang unik bila untuk seorang anak menghabiskan seekor ayam goreng seorang diri saja. Kalau Chairil berkelahi maka bapaknya akan selalu membenarkannya. Kalau perlu bapaknya juga ikut berkelahi karena sang bapak pun memiliki sifat untuk bersikap “akulah yang benar.” Sifat yang dimiliki tersebut juga berdampak pada kehidupan keluarga yaitu ibu Chairil Anwar. Oleh karena itu keadaan rumah tidak harmonis.
Pada saat ini jarang sekali orang yang mengetahui dan menyenangi sastra. Mereka lebih berorientasi pada ilmu eksak, teknologi, dan lainnya yang menurut mereka jauh lebih menantang daripada hanya sekedar membicarakan tentang sastra. Pandangan seperti ini tentu membawa imbas pada minat siswa-siswa SMU untuk memasuki Fakultas Sastra. Dan andaikata banyak yang meminati, maka hanya pada sastra Inggris yang selama ini punya nilai lebih tersendiri, misalnya berkaitan dengan masalah peluang kerja. Lalu bagaimana dengan sastra Indonesia?.
Peluang pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia masih tetap ada walaupun lambat. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap sastra Indonesia. Pada umumnya mereka masih belum menyadari manfaat keberadaan sastra Indonesia. Dengan mempelajari sastra Indonesia, kita akan menjadi lebih sensitif dengan fenomena sosial, lebih bisa memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang, tidak dengan menghakimi suatu kejadian dengan pandangan yang sempit. Selain hal-hal tersebut, kita akan mengetahui refleksi kehidupan bangsa kita dari awal hingga akhir sehingga kita akan bisa menjadi manusia yang bisa menghargai hidup, sesama, serta negara.
Seperti yang terjadi sekarang ini, saat kerusuhan terjadi di mana-mana, setiap orang mulai merasa kehilangan rasa kemanusiaan dan persaudaraan yang menyebabkan terbentuknya kehidupan individualis dan egois, serta kesibukan dengan rutinitas sehari-hari tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Setiap individu menjadi saling curiga, tidak ada kepercayaan terhadap individu lain. Menurut Taufik Ismail, keadaan seperti ini terjadi karena memang sejak dahulu pelajaran yang selalu dipentingkan adalah eksakta dan teknologi guna mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain. Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu kita baru merdeka.
Belajar tentang ilmu sosial menjadikan sastra dinomorduakan sehingga ketika badai krisis menghantam kita, kita langsung terpuruk walau kita pernah “berjaya” dengan teknologi tersebut. Hal ini karena mentalitas orang-orang yang bekerja di baliknya jelek. Rasa kemanusiaan dan kesadaran setiap individu akan hal-hal selain memburu kejayaan, uang, ketenaran sangatlah kurang karena mereka tidak mempunyai bekal kepekaan yang cukup. Dan sekali lagi ini karena sastra tidak dipandang sebagai hal yang penting dan selalu dinomorduakan.
Untuk mencegah agar hal ini tidak semakin berlarut maka berikut ini akan dituliskan beberapa tokoh kesusastraan agar kita lebih mengenal mereka. Itu semua pada akhirnya akan membuat kita mulai menyukai sastra, meneladani sikap serta menjadikan pengalaman hidup mereka sebagai suatu pelajaran yang berharga dan dapat merubah pandangan serta sikap hidup kita. Tokoh pertama yang akan diangkat adalah Chairil Anwar. Nama ini tentunya sudah sangat akrab di telinga kita namun jarang sekali kita mengetahui siapa dan bagaimana Chairil Anwar. Semoga dengan tulisan ini akan membuat kita lebih mengenalnya seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang.”
BIOGRAFI Chairil Anwar (Masa Kecil) Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922. Ia menempuh pendidikan hingga kelas dua pada sekolah MULO (sekarang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Tahun 1940 dia pindah ke Jakarta dikarenakan keadaan keluarga. Tetapi di sana sekolahnya amat terbatas atau mungkin dia tidak melanjutkan sekolahnya.
Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Chairil Anwar sendiri berasal dari keluarga yang kurang harmonis. Hari-hari yang dipenuhi dengan pertengkaran terus-menerus, tidak mengenal damai sekejap pun. Kedua orang tuanya sama-sama pemarah, keras hati, dan tidak mau mengalah. Di tengah-tengah api percideraan dan pertengkaran itulah Chairil hidup dan dibesarkan. Dapatlah kita rasakan bagaimana pengaruh suasana kehidupan demikian terhadap jiwanya.
Di lain hal ternyata dia sangat dimanjakan. Segala-galanya harus diadakan untuk Chairil seperti motor anak, sepeda anak, atau apapun permainan, kegemaran anak-anak yang terbaik. Demikian halnya dengan masalah makanan, adalah hal yang unik bila untuk seorang anak menghabiskan seekor ayam goreng seorang diri saja. Kalau Chairil berkelahi maka bapaknya akan selalu membenarkannya. Kalau perlu bapaknya juga ikut berkelahi karena sang bapak pun memiliki sifat untuk bersikap “akulah yang benar.” Sifat yang dimiliki tersebut juga berdampak pada kehidupan keluarga yaitu ibu Chairil Anwar. Oleh karena itu keadaan rumah tidak harmonis.