Perkembangan TIK

Perkembangan TIK Bila dilacak ke belakang, terdapat beberapa tonggak perkembangan teknologi yang secara nyata memberi sumbangan terhadap eksistensi TIK saat ini. Pertama adalah temuan telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1875. Temuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan penggelaran jaringan komunikasi dengan kabel yang melilit seluruh daratan Amerika, bahkan kemudian diikuti pemasangan kabel komunikasi trans-atlantik. Inilah infrastruktur masif pertama yang dibangun manusia untuk komunikasi global. Memasuki abad ke-20, tepatnya antara tahun 1910-1920, terealisasi transmisi suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama (Lallana, 2003:5). Komunikasi suara tanpa kabel segera berkembang pesat, dan kemudian bahkan diikuti pula oleh transmisi audio-visual tanpa kabel, yang berwujud siaran televisi pada tahun 1940-an. Komputer elektronik pertama beroperasi pada tahun 1943, yang kemudian diikuti oleh tahapan miniaturisai komponen elektronik melalui penemuan transistor pada tahun 1947, dan rangkaian terpadu (integrated electronics) pada tahun 1957. Perkembangan teknologi elektronika, yang merupakan soko guru TIK saat ini, mendapatkan momen emasnya pada era perang dingin. Persaingan IPTEK antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (eks Uni Sovyet) justru memacu perkembangan teknologi elektronika lewat upaya miniaturisasi rangkaian elektronik untuk pengendali pesawat ruang angkasa maupun mesin-mesin perang. Miniaturisasi komponen elektronik, melalui penciptaan rangkaian terpadu, pada puncaknya melahirkan mikroprosesor. Mikroprosesor inilah yang menjadi ‘otak’ perangkat keras komputer, dan terus berevolusi sampai saat ini. Di lain pihak, perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat mulai diimplementasi-kannya teknologi digital menggantikan teknologi analog yang mulai menampakkan batas-batas maksimal pengeksplorasiannya. Digitalisasi perangkat telekomunikasi kemudian berkonvergensi dengan perangkat komputer yang dari awal merupakan perangkat yang mengadopsi teknologi digital. Produk hasil konvergensi inilah yang saat ini muncul dalam bentuk telepon seluler. Di atas infrastruktur telekomunikasi dan komputasi inilah kandungan isi (content) berupa multimedia, mendapatkan tempat yang tepat untuk berkembang. Konvergensi telekomunikasi-komputasi-multimedia inilah yang menjadi ciri abad ke-21, sebagaimana abad ke-18 dicirikan oleh revolusi industri. Bila revolusi industri menjadikan mesin-mesin sebagai pengganti ‘otot’ manusia maka revolusi digital (karena konvergensi telekomunikasi-komputasi-multimedia terjadi melalui implementasi teknologi digital) menciptakan mesin-mesin yang mengganti (atau setidaknya meningkatkan kemampuan) ‘otak’ manusia. Indonesia pernah menggunakan istilah telematika (telematics) untuk maksud yang kurang lebih sama dengan TIK yang kita kenal saat ini. Encarta Dictionary mendeskripsikan telematics sebagai telecommunication+informatics (telekomunikasi+informatika) meskipun sebelumnya kata itu bermakna science of data transmission. Pengolahan informasi dan pendistribusiannya melalui jaringan telekomunikasi membuka banyak peluang untuk dimanfaatkan di berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Ide untuk menggunakan mesin-belajar, membuat simulasi proses-proses yang rumit, animasi proses-proses yang sulit dideskripsikan, sangat menarik minat praktisi pembelajaran. Tambahan lagi, kemungkinan untuk melayani pembelajaran yang tak terkendala waktu dan tempat, juga dapat difasilitasi oleh TIK. Sejalan dengan itu mulailah bermunculan berbagai jargon berawalan e, mulai dari e-book, e-learning, e-laboratory, e-education, e-library dan sebagainya. Awalan e- bermakna electronics yang secara implisit dimaknai berdasar teknologi elektronika digital.

Sabtu, 15 Maret 2008

Biografi


Pulished on 26 November 2007 • Written by redaktur
Pada saat ini jarang sekali orang yang mengetahui dan menyenangi sastra. Mereka lebih berorientasi pada ilmu eksak, teknologi, dan lainnya yang menurut mereka jauh lebih menantang daripada hanya sekedar membicarakan tentang sastra. Pandangan seperti ini tentu membawa imbas pada minat siswa-siswa SMU untuk memasuki Fakultas Sastra. Dan andaikata banyak yang meminati, maka hanya pada sastra Inggris yang selama ini punya nilai lebih tersendiri, misalnya berkaitan dengan masalah peluang kerja. Lalu bagaimana dengan sastra Indonesia?.
Peluang pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia masih tetap ada walaupun lambat. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap sastra Indonesia. Pada umumnya mereka masih belum menyadari manfaat keberadaan sastra Indonesia. Dengan mempelajari sastra Indonesia, kita akan menjadi lebih sensitif dengan fenomena sosial, lebih bisa memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang, tidak dengan menghakimi suatu kejadian dengan pandangan yang sempit. Selain hal-hal tersebut, kita akan mengetahui refleksi kehidupan bangsa kita dari awal hingga akhir sehingga kita akan bisa menjadi manusia yang bisa menghargai hidup, sesama, serta negara.
Seperti yang terjadi sekarang ini, saat kerusuhan terjadi di mana-mana, setiap orang mulai merasa kehilangan rasa kemanusiaan dan persaudaraan yang menyebabkan terbentuknya kehidupan individualis dan egois, serta kesibukan dengan rutinitas sehari-hari tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Setiap individu menjadi saling curiga, tidak ada kepercayaan terhadap individu lain. Menurut Taufik Ismail, keadaan seperti ini terjadi karena memang sejak dahulu pelajaran yang selalu dipentingkan adalah eksakta dan teknologi guna mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain. Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu kita baru merdeka.
Belajar tentang ilmu sosial menjadikan sastra dinomorduakan sehingga ketika badai krisis menghantam kita, kita langsung terpuruk walau kita pernah “berjaya” dengan teknologi tersebut. Hal ini karena mentalitas orang-orang yang bekerja di baliknya jelek. Rasa kemanusiaan dan kesadaran setiap individu akan hal-hal selain memburu kejayaan, uang, ketenaran sangatlah kurang karena mereka tidak mempunyai bekal kepekaan yang cukup. Dan sekali lagi ini karena sastra tidak dipandang sebagai hal yang penting dan selalu dinomorduakan.
Untuk mencegah agar hal ini tidak semakin berlarut maka berikut ini akan dituliskan beberapa tokoh kesusastraan agar kita lebih mengenal mereka. Itu semua pada akhirnya akan membuat kita mulai menyukai sastra, meneladani sikap serta menjadikan pengalaman hidup mereka sebagai suatu pelajaran yang berharga dan dapat merubah pandangan serta sikap hidup kita. Tokoh pertama yang akan diangkat adalah Chairil Anwar. Nama ini tentunya sudah sangat akrab di telinga kita namun jarang sekali kita mengetahui siapa dan bagaimana Chairil Anwar. Semoga dengan tulisan ini akan membuat kita lebih mengenalnya seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang.”
BIOGRAFI Chairil Anwar (Masa Kecil) Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922. Ia menempuh pendidikan hingga kelas dua pada sekolah MULO (sekarang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Tahun 1940 dia pindah ke Jakarta dikarenakan keadaan keluarga. Tetapi di sana sekolahnya amat terbatas atau mungkin dia tidak melanjutkan sekolahnya.
Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Chairil Anwar sendiri berasal dari keluarga yang kurang harmonis. Hari-hari yang dipenuhi dengan pertengkaran terus-menerus, tidak mengenal damai sekejap pun. Kedua orang tuanya sama-sama pemarah, keras hati, dan tidak mau mengalah. Di tengah-tengah api percideraan dan pertengkaran itulah Chairil hidup dan dibesarkan. Dapatlah kita rasakan bagaimana pengaruh suasana kehidupan demikian terhadap jiwanya.
Di lain hal ternyata dia sangat dimanjakan. Segala-galanya harus diadakan untuk Chairil seperti motor anak, sepeda anak, atau apapun permainan, kegemaran anak-anak yang terbaik. Demikian halnya dengan masalah makanan, adalah hal yang unik bila untuk seorang anak menghabiskan seekor ayam goreng seorang diri saja. Kalau Chairil berkelahi maka bapaknya akan selalu membenarkannya. Kalau perlu bapaknya juga ikut berkelahi karena sang bapak pun memiliki sifat untuk bersikap “akulah yang benar.” Sifat yang dimiliki tersebut juga berdampak pada kehidupan keluarga yaitu ibu Chairil Anwar. Oleh karena itu keadaan rumah tidak harmonis.

Al-Andalus


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Interior Masjid Kordoba atau mezquita, peninggalan dari Al-Andalus yang kini dijadikan katedral Katolik Roma.
Al-Andalus (Arab: الأندلس al-andalus) adalah nama dari bagian Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) yang diperintah oleh orang Islam, atau orang Moor, dalam berbagai waktu antara tahun 711 dan 1492.[1] Al-Andalus juga sering disebut Andalusia, namun penggunaan ini memiliki keambiguan dengan wilayah administratif di Spanyol modern Andalusia.
Masa kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran Guadalete, dimana pasukan Umayyah pimpinan Tariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang Visigoth yang menguasai Iberia. Awalnya Al-Andalus merupakan provinsi dari Kekhalifahan Umayyah (711-750), lalu berubah menjadi sebuah keamiran (c. 750-929), sebuah kekhalifahan, (929-1031), dan akhirnya "taifa" yaitu kerajaan-kerajaan kecil pecahan dari kekhalifahan tersebut (1031-1492).
Karena pada akhirnya orang-orang Kristen berhasil merebut Iberia dari tangan umat Islam (Reconquista), nama Al-Andalus umumnya tidak merujuk kepada Iberia secara umum, tapi kepada daerah-daerah yang dikuasai para Muslim pada zaman dahulu. Pada 1236, benteng terakhir umat Islam di Spanyol, Granada menyatakan tunduk kepada Ferdinand III dari Kastilia, dan menjadi negara bawahan Kastilia, hingga pada 1492 Muhammad XII menyerah sepenuhnnya kepada Los Reyes Católicos (Kerajaan Katolik Spanyol) pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Sedangkan kekuasaan Islam di Portugal berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III. Kekalahan penguasa Muslim kemudian diikuti oleh penganiyaan dan pengusiran terhadap kaum Muslim dan Yahudi di Spanyol.[2]